AMA NA MARSAHALA
Adalah
kenyataan sejak dahulu di seluruh dunia, Ama atau Bapak mempunyai peranan yang
besar dan menentukan. Mereka tidak saja ditempatkan sebagai pemenuhan nafkah
sehari-hari keluarganya tetapi juga menjadi pemimpin di kehidupan pranata sosial
(masyarakat), gereja, dan keluarga. Namun seiring perkembangan zaman, peran Ama
atau Bapak mengalami pergeseran. Saat ini, perempuan telah melakukan pekerjaan
yang dulu adalah domain laki-laki, seperti menjadi pemenuhan ekonomi keluarga
dan menjadi pemimpin di berbagai pranata sosial. Sitompul mengatakan
“pergeseran peranan sudah berlangsung sejak umat manusia memasuki abad
teknologi tetapi semakin tajam pergeseran itu di era globalisasi sekarang ini.
Dengan kemajuan teknologi, aktivitas manusia tidak lagi ditentukan oleh otot
melainkan otak (Sitompul 2003,196). Salah satu trend di Asia menurut Naisbitt
di dalam bukunya Megatrends Asia :
Delapan Megatrends Asia yang Mengubah Dunia, ialah peranan wanita di ruang
publik semakin besar dari tahun ke tahun, yang disebutnya pergeseran “dari
dominasi pria – munculnya kaum wanita”(Naisbitt 1997,268). Trend ini mungkin
dipandang oleh kaum pria – yang terbiasa mendominasi keluarga, sebagai suatu
yang tidak mereka inginkan. Orang Asia, khususnya Indonesia dan orang Batak
menghargai keluarga. Karena itu, mereka mengharapkan wanita tinggal di rumah
untuk membesarkan anak dan merawat yang lanjut usia. Konsep keibuan (motherhood) untuk wanita bergeser ke
arah keorangtuan (parenthood),
artinya suami-isteri sama-sama memiliki tanggungjawab yang setara dalam
mengelola hidup keluarga.
Walaupun
telah terjadi pergeseran peran di antara kaum laki-laki dan perempuan tidak
serta merta membuat laki-laki (bapak) kehilangan fungsi sebenarnya sebagai
laki-laki yang diciptakan Tuhan. Bila merujuk kepada apa yang telah diperbuat
Tuhan, laki-laki diciptakan sebagai “kepala”.
“ke-kepala-an” laki-laki atau bapak merupakan wibawa (sahala) yang
ditunjukkan di dalam perilaku kasih dan perlindungan. Bapak yang berwibawa
(marsahala) dimaksudkan bapak yang memiliki kemuliaan, karisma, hikmat,
kesaktian, dan kebesaran otoritas (Warneck 2001,284). Untuk mencapai semua itu,
Mereka (bapak) harus mengembangkan dirinya di dalam kehidupan keluarga, gereja,
dan masyarakat secara terus menerus. Tidak cukup saat ini, pria atau bapak
dianggap sudah tahu segala-galanya sedangkan dunia mengalami perubahan dinamis
yang sangat cepat.
Superioritas
bapak sebagai pria selama ini cenderung menghilangkan kemampuan utama mereka
sebagai bapa dalam arti positif dan konstruktif. Justru, sisi maskulin menunjuk
kepada sisi yang kasar, tangguh, kejam, dan selalu memaksakan kehendak.
Padahal, fungsi seorang Bapak tersirat model yang dilandasai kebijaksanaan,
intelektualitas, dan keteladanan moral. Itu sebabnya, gelar Bapa dalam Alkitab
dikenakan kepada sesuatu yang ilahi, yaitu Allah. Yesus juga menyebut Tuhan
sebagai Bapa (Abba). Dalam Allah sebagai
Bapa, kita tidak berhadapan dengan sosok ilahi yang maskulin atau pribadi yang
keras, otoriter, kejam, dan suka memaksakan kehendak. Sebaliknya, kita dapat
merasakan kelemahlembutan, keramahan, kebaikan, kemurahan, kesetiaan, dan kasih
yang mempedulikan umatNya.
Ama
(bapak) yang “marsahala” (berwibawa) di dalam keluarga sangat ditentukan relasi
bapak dengan ibu dan juga anak-anaknya. Bapak harus mampu menjaga hubungan yang
serasi dan harmonis di tengah-tengah keluarga. Biasanya jika hubungan suami
isteri baik dan harmonis maka kehidupan anak-anak mereka juga akan baik dan
ceria. Baik dan harmonis adalah sikap yang membentuk hubungan keluarga saling
mendukung, memperhatikan dengan penuh cinta kasih walaupun harus disibukkan
dengan berbagai urusan yang lain. Problema yang sering dihadapi oleh para Bapa
pada masa kini adalah mereka sering kehilangan otoritas untuk mengarahkan dan
membimbing anak-anak mereka. Padahal, mereka umumnya selalu memberi nasihat
yang baik dan bermaksud peduli terhadap anak-anak mereka. Namun, tampaknya
nasihat mereka kurang didengar oleh anak-anak mereka. Penyebabnya dapat
beragam, bisa saja faktor dari lingkungan, perubahan zaman, tetapi yang utama
adalah persoalan keteladanan. Dalam hal ini, anak-anak sering melihat bahwa
orangtua mereka hanya pandai memberi nasihat, tetapi dalam praktiknya justru
melanggar semua nasihat dan pengajarannya.
Sebagai
seorang Bapa tidaklah cukup sekedar memberi makanan, pendidikan, dan fasilitas
yang baik bagi anak-anaknya. Anak-anak juga membutuhkan arahan hidup yang benar
sesuai dengan Firman Tuhan. Kita tidak dapat disebut sebagai orangtua atau Bapa
yang berhasil hanya karena anak-anak kita dapat menyelesaikan studi dalam tiap
jenjangnya atau menguasai berbagai keahlian. Kepercayaan kepada Tuhan mesti
tetap dijaga dengan baik oleh keluarga, supaya hubungan dengan Tuhan tetap
terjalin, dan janji-Nya terwujud turun temurun. Para bapa yang peduli akan
memberi arahan yang benar agar anak-anaknya dapat mengalami proses pertumbuhan
diri yang utuh dan seimbang sehingga mereka semakin mengasihi Allah dan
sesamanya. Mulyono katakan “kehidupan ini merupakan suatu proses perjalanan
atau ziarah iman yang sedang bergerak ke tanah perjanjian. Jadi peran bapa
adalah memfasilitasi perjumpaan iman keluarga secara personal dengan Tuhan
(bndk. Yosus di dalam Yosua 3:10 dan 24:15) (Mulyono 2010, 53).
Mengutip
apa yang disampaikan oleh Adiprasetya dari puisi Dorothy Lawe Holt mengambarkan
pentingnya pendidikan anak sejak dini sebagai pembenihan kualitas hidup ketika
mereka dewasa (Daud Adiprasetya & Joas Adiprasetya 2011, 136-137)
Jika seorang
anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk selalu menyalahkan;
Jika seorang
anak hidup dalam kebencian, ia belajar untuk berkelahi;
Jika seorang
anak hidup dengan cemoohan, ia belajar menjadi pemalu;
Jika seorang
anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk selalu merasa bersalah;
Namun...
Jika seorang
anak hidup dengan teloransi, ia belajar menjadi penyabar;
Jika seorang
anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri;
Jika seorang
anak hidup dengan pujian, ia belajar menghargai sesama;
Jika seorang
anak diperlakukan setara, ia belajar menjadi seorang yang adil;
Jika seorang
anak hidup dalam rasa aman, ia belajar memiliki iman;
Jika seorang
anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri;
Jika
seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan
cinta dalam dunia.
Kunci
seperti apa gereja dan masyarakat ke depan sangat ditentukan dari keluarga.
Untuk menghasilkan gereja dan masyarakat yang baik, yang benar harus dimulai
dari kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga terdiri dari bapak,
ibu, dan anak-anak, dan yang menentukan perjalanan kehidupan keluarga ada
diletakkan dipundak bapak. Janganlah para bapak selalu ingin menonjolkan
kepemimpinan tetapi melupakan kualitas religius yang mesti mereka miliki, agar
layak menjadi ayah teladan (Sitompul 2014,134). Jikalau kaum bapak masih ingin
diandalkan maka kaum bapak harus membekali dirinya dengan sebaik-baiknya.
Mereka harus memahami perkembangan masyarakat dengan cermat, peka terhadap
aspirasi, dan menumbuhkan iman yang missioner.
Daftar
Acuan
Adiprasetya
Daud & Joas Adiprasetya.2011. Dilarang
Kencing di sini, Jakarta, Grafika Kreasindo
Mulyono,
Yohanes Bambang.2010. Firman Hidup 73.
Jakarta, BPK-Gunung Mulia
Naisbitt,
John.1997. Megatrends Asia : Delapaan
Megatrends Asia yang Mengubah Dunia, Jakarta, Gramedia
Sitompul,
Einar.2003. Kaum Bapak dan Pergeseran
peran dalam era Globalisasi, dalam Gomar Gultom “Bunga Rampai Tulisan dalam
Rangka 50 Tahun Pdt. Nelson Siregar, Yayasan KSPPM, Parapat.
Sitompul,
Einar.2014. Perjalanan Sarat Muatan : 65
Tahun Pdt.Dr.Einar.M.Sitompul, Jakarta : UPI
Warneck,
J.2001. Kamus Batak Toba Indonesia,
Medan, Penerbit Bina Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar