Jumat, 13 Februari 2015

Ama Marsahala (Bapak yang berwibawa)



AMA NA MARSAHALA
Adalah kenyataan sejak dahulu di seluruh dunia, Ama atau Bapak mempunyai peranan yang besar dan menentukan. Mereka tidak saja ditempatkan sebagai pemenuhan nafkah sehari-hari keluarganya tetapi juga menjadi pemimpin di kehidupan pranata sosial (masyarakat), gereja, dan keluarga. Namun seiring perkembangan zaman, peran Ama atau Bapak mengalami pergeseran. Saat ini, perempuan telah melakukan pekerjaan yang dulu adalah domain laki-laki, seperti menjadi pemenuhan ekonomi keluarga dan menjadi pemimpin di berbagai pranata sosial. Sitompul mengatakan “pergeseran peranan sudah berlangsung sejak umat manusia memasuki abad teknologi tetapi semakin tajam pergeseran itu di era globalisasi sekarang ini. Dengan kemajuan teknologi, aktivitas manusia tidak lagi ditentukan oleh otot melainkan otak (Sitompul 2003,196). Salah satu trend di Asia menurut Naisbitt di dalam bukunya Megatrends Asia : Delapan Megatrends Asia yang Mengubah Dunia, ialah peranan wanita di ruang publik semakin besar dari tahun ke tahun, yang disebutnya pergeseran “dari dominasi pria – munculnya kaum wanita”(Naisbitt 1997,268). Trend ini mungkin dipandang oleh kaum pria – yang terbiasa mendominasi keluarga, sebagai suatu yang tidak mereka inginkan. Orang Asia, khususnya Indonesia dan orang Batak menghargai keluarga. Karena itu, mereka mengharapkan wanita tinggal di rumah untuk membesarkan anak dan merawat yang lanjut usia. Konsep keibuan (motherhood) untuk wanita bergeser ke arah keorangtuan (parenthood), artinya suami-isteri sama-sama memiliki tanggungjawab yang setara dalam mengelola hidup keluarga.  
Walaupun telah terjadi pergeseran peran di antara kaum laki-laki dan perempuan tidak serta merta membuat laki-laki (bapak) kehilangan fungsi sebenarnya sebagai laki-laki yang diciptakan Tuhan. Bila merujuk kepada apa yang telah diperbuat Tuhan, laki-laki diciptakan sebagai “kepala”.  “ke-kepala-an” laki-laki atau bapak merupakan wibawa (sahala) yang ditunjukkan di dalam perilaku kasih dan perlindungan. Bapak yang berwibawa (marsahala) dimaksudkan bapak yang memiliki kemuliaan, karisma, hikmat, kesaktian, dan kebesaran otoritas (Warneck 2001,284). Untuk mencapai semua itu, Mereka (bapak) harus mengembangkan dirinya di dalam kehidupan keluarga, gereja, dan masyarakat secara terus menerus. Tidak cukup saat ini, pria atau bapak dianggap sudah tahu segala-galanya sedangkan dunia mengalami perubahan dinamis yang sangat cepat.
Superioritas bapak sebagai pria selama ini cenderung menghilangkan kemampuan utama mereka sebagai bapa dalam arti positif dan konstruktif. Justru, sisi maskulin menunjuk kepada sisi yang kasar, tangguh, kejam, dan selalu memaksakan kehendak. Padahal, fungsi seorang Bapak tersirat model yang dilandasai kebijaksanaan, intelektualitas, dan keteladanan moral. Itu sebabnya, gelar Bapa dalam Alkitab dikenakan kepada sesuatu yang ilahi, yaitu Allah. Yesus juga menyebut Tuhan sebagai Bapa (Abba).  Dalam Allah sebagai Bapa, kita tidak berhadapan dengan sosok ilahi yang maskulin atau pribadi yang keras, otoriter, kejam, dan suka memaksakan kehendak. Sebaliknya, kita dapat merasakan kelemahlembutan, keramahan, kebaikan, kemurahan, kesetiaan, dan kasih yang mempedulikan umatNya.
Ama (bapak) yang “marsahala” (berwibawa) di dalam keluarga sangat ditentukan relasi bapak dengan ibu dan juga anak-anaknya. Bapak harus mampu menjaga hubungan yang serasi dan harmonis di tengah-tengah keluarga. Biasanya jika hubungan suami isteri baik dan harmonis maka kehidupan anak-anak mereka juga akan baik dan ceria. Baik dan harmonis adalah sikap yang membentuk hubungan keluarga saling mendukung, memperhatikan dengan penuh cinta kasih walaupun harus disibukkan dengan berbagai urusan yang lain. Problema yang sering dihadapi oleh para Bapa pada masa kini adalah mereka sering kehilangan otoritas untuk mengarahkan dan membimbing anak-anak mereka. Padahal, mereka umumnya selalu memberi nasihat yang baik dan bermaksud peduli terhadap anak-anak mereka. Namun, tampaknya nasihat mereka kurang didengar oleh anak-anak mereka. Penyebabnya dapat beragam, bisa saja faktor dari lingkungan, perubahan zaman, tetapi yang utama adalah persoalan keteladanan. Dalam hal ini, anak-anak sering melihat bahwa orangtua mereka hanya pandai memberi nasihat, tetapi dalam praktiknya justru melanggar semua nasihat dan pengajarannya.
Sebagai seorang Bapa tidaklah cukup sekedar memberi makanan, pendidikan, dan fasilitas yang baik bagi anak-anaknya. Anak-anak juga membutuhkan arahan hidup yang benar sesuai dengan Firman Tuhan. Kita tidak dapat disebut sebagai orangtua atau Bapa yang berhasil hanya karena anak-anak kita dapat menyelesaikan studi dalam tiap jenjangnya atau menguasai berbagai keahlian. Kepercayaan kepada Tuhan mesti tetap dijaga dengan baik oleh keluarga, supaya hubungan dengan Tuhan tetap terjalin, dan janji-Nya terwujud turun temurun. Para bapa yang peduli akan memberi arahan yang benar agar anak-anaknya dapat mengalami proses pertumbuhan diri yang utuh dan seimbang sehingga mereka semakin mengasihi Allah dan sesamanya. Mulyono katakan “kehidupan ini merupakan suatu proses perjalanan atau ziarah iman yang sedang bergerak ke tanah perjanjian. Jadi peran bapa adalah memfasilitasi perjumpaan iman keluarga secara personal dengan Tuhan (bndk. Yosus di dalam Yosua 3:10 dan 24:15) (Mulyono 2010, 53).
Mengutip apa yang disampaikan oleh Adiprasetya dari puisi Dorothy Lawe Holt mengambarkan pentingnya pendidikan anak sejak dini sebagai pembenihan kualitas hidup ketika mereka dewasa (Daud Adiprasetya & Joas Adiprasetya 2011, 136-137)
Jika seorang anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk selalu menyalahkan;
Jika seorang anak hidup dalam kebencian, ia belajar untuk berkelahi;
Jika seorang anak hidup dengan cemoohan, ia belajar menjadi pemalu;
Jika seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk selalu merasa bersalah;
Namun...
Jika seorang anak hidup dengan teloransi, ia belajar menjadi penyabar;
Jika seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri;
Jika seorang anak hidup dengan pujian, ia belajar menghargai sesama;
Jika seorang anak diperlakukan setara, ia belajar menjadi seorang yang adil;
Jika seorang anak hidup dalam rasa aman, ia belajar memiliki iman;
Jika seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri;
Jika seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam dunia.
Kunci seperti apa gereja dan masyarakat ke depan sangat ditentukan dari keluarga. Untuk menghasilkan gereja dan masyarakat yang baik, yang benar harus dimulai dari kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga. Keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak, dan yang menentukan perjalanan kehidupan keluarga ada diletakkan dipundak bapak. Janganlah para bapak selalu ingin menonjolkan kepemimpinan tetapi melupakan kualitas religius yang mesti mereka miliki, agar layak menjadi ayah teladan (Sitompul 2014,134). Jikalau kaum bapak masih ingin diandalkan maka kaum bapak harus membekali dirinya dengan sebaik-baiknya. Mereka harus memahami perkembangan masyarakat dengan cermat, peka terhadap aspirasi, dan menumbuhkan iman yang missioner.
Daftar Acuan
Adiprasetya Daud & Joas Adiprasetya.2011. Dilarang Kencing di sini, Jakarta, Grafika Kreasindo
Mulyono, Yohanes Bambang.2010. Firman Hidup 73. Jakarta, BPK-Gunung Mulia
Naisbitt, John.1997. Megatrends Asia : Delapaan Megatrends Asia yang Mengubah Dunia, Jakarta, Gramedia
Sitompul, Einar.2003. Kaum Bapak dan Pergeseran peran dalam era Globalisasi, dalam Gomar Gultom “Bunga Rampai Tulisan dalam Rangka 50 Tahun Pdt. Nelson Siregar, Yayasan KSPPM, Parapat.
Sitompul, Einar.2014. Perjalanan Sarat Muatan : 65 Tahun Pdt.Dr.Einar.M.Sitompul, Jakarta : UPI
Warneck, J.2001. Kamus Batak Toba Indonesia, Medan, Penerbit Bina Media

Tidak ada komentar:

Mazmur 84 : 1 - 7

Mazmur 84 : 1 - 7 84:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur bani Korah.  84-2 Betapa disenangi tempat kediaman-Mu ,  ya ...