Selasa, 24 Maret 2015





Mazmur 69 : 1 - 20

Pendahuluan

LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) memberi judul Mazmur 69 adalah Doa dalam kesesakan. Hal ini sangat sesuai sebagaimana dialami pemazmur  di sini.  Pemazmur mengalami situasi yang genting, digambarkan seperti seorang yang tenggelam, yang sedang berputus asa. Daud memulai ratapannya secara to the point dan dengan tegas mengatakan perasaannya yang terdalam “Selamatkanlah aku ya Allah”. Ia dituduh telah merampas sesuatu, dan kemudian dipaksa untuk mengembalikan barang yang sebenarnya tak pernah ia rampas. Terhadap para musuhnya, pemazmur mengaku tidak bersalah. Namun, kepada Tuhan ia mengaku pernah bertindak bodoh (6). Maka ia memohon belas kasih Tuhan agar dampak kesalahannya tidak menimpa umat Tuhan. Di sisi lain, pemazmur merasa apa yang menimpa dirinya adalah karena ketekunannya melayani Tuhan (8-13). Oleh karena itu, ia berani berharap kepada Tuhan untuk melepaskannya dari tekanan musuh.

Mazmur ini menunjukkan tipikal sebuah mazmur keluhan atau ratapan. Mazmur ratapan memiliki genre karakteristik, antara lain : menggunakan metafora dalam meratap, bergerak dari kepedihan kepada sukacita, dan menawarkan transformasi iman (lih.Benny Solihin, Mengkhotbahkan Mazmur Ratapan,2012,h.34). Pemazmur menyampaikan keluhannya dengan harapan Tuhan akan menjawab dan menyelamatkannya dari ancaman kebinasaan. Mazmur seperti ini mengajar kita tentang bagaimana menghadapi musuh yang memfitnah bahkan hendak membinasakan kita padahal kita sedang melayani Tuhan. Kita memiliki Tuhan yang peduli dan yang akan bertindak pada waktu-Nya untuk menolong kita. Walaupun kita sudah merasa di ambang pintu kehancuran, jangan sampai kita melepaskan iman kita. Percayalah pada waktu-Nya, Ia akan menolong. Mazmur ini juga sering dipandang sebagai Mazmur tentang Mesias karena di bagian Mazmur ini berisi tentang seruan Daud minta tolong sejajar dengan penderitaan Mesias (Kristus). Mereka yang membenci Daud serupa dengan mereka yang membenci Kristus. Daud yang sangat menderita dari orang-orang di sekitarnya, seperti itu juga yang dialami Kristus.

Penjelasan Nas

1.      Penderitaan dan kesesakan

Pemazmur menggambarkan penderitaannya yang amat sangat pahit, seolah-olah dia tidak mampu lagi berbuat apa-apa dengan kekuatannya sendiri untuk keluar dari penderitaan itu. Digambarkan bahwa seolah-olah dia masuk kedalam “Lumpur Hidup=gambo lisop” jika dia semakin berusaha untuk bergerak dan keluar maka ia akan semakin masuk lebih dalam dan tentunya akan tenggelam. Ia sadar bahwa ia adalah manusia biasa yang berdosa (ayat 6). Namun jelas bahwa penderitaan yang dia tanggung bukanlah hukuman Tuhan atas dosa-dosanya. Bila kita baca ay.7-13 di situ dijelaskan oleh pemazmur bagaimana musuh-musuhnya memperlakukan dia, bagaimana sinisme orang lain terhadapnya. Ia menderita karena keberpihakannya kepada Allah membuat orang membenci dia. Dan dunia ini kejam sekali. Mereka berkomplot melawan orang yang mengasihi Allah (ayat 5). Bahkan, entah karena ikut berkomplot atau karena takut terkena "getah," sanak saudaranya ikut membuang dia (ayat 9). Itulah penderitaan terberat, karena orang-orang terdekat menganggap dia sebagai orang berbahaya dan harus disingkirkan. Ia juga jadi objek sindiran (ayat 13).

Kondisi hidup yang demikian hanya membutuhkan pertolongan dari si-penolong. Namun, dengan iman yang teguh pemazmur percaya bahwa Tuhan Allah akan menolongnya. Allah dijadikannya yang utama dan yang pertama sebagai penolong dalam hidupnya. Oleh karena itu pertama yang dipanggilnya untuk menolong ialah Tuhan Allah. Sebab dengan kondisi demikian dibutuhkan tumpuan yang kokoh untuk keselamatan. Tiada orang yang menndengarkan jeritannya, namun karena imannya percaya akan kemahakuasaan Tuhan, serta karena imannya dia percaya bahwa Tuhan itu tidak dibatasi ruang dan waktu dan Tuhan pasti mendengarkan seruannya. Tidak ada yang lebih kuat dari pada Tuhan, dan hanya ketika bersama Tuhanlah kita akan senantisa dapat berdiri dengan iman yang teguh.

2.      Tidak ber-apologet, lebih baik membuka diri

Penderitaan dan kesesakan yang dialami pemazmur membuat dia terbuka kepada Allah. Pemazmur tidak ber-apologi untuk membela diri atau menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan Tuhan. Pemazmur menyadari tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah yang Maha Tahu. Hal inilah yang mendorong pemazmur menyerahkan semua persoalannya kepada Tuhan. Dalam hal pemazmur, penderitaan membuat dia rindu akan  pemulihan rohani yang bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Ia mengharapkan pelepasan supaya orang beriman lainnya tidak tawar hati (ayat 7). Namun berkat terindah dari menanggung cela karena Allah ialah penegasan iman kepada perkenan Allah, kasih setia-Nya, dan pertolongan-Nya (ayat 14). Irama sumbang para pengejeknya kini menyingkir menjadi latar belakang yang tak berarti. Orang yang menderita ini masuk ke dalam hadirat kasih anugerah Allah yang ajaib. Kepada Allah, ia mempertaruhkan kasusnya. Dari Allah, ia beroleh peluputan yang mengalir semata dari anugerah perjanjian Allah yang terpercaya.

3.      Pertolongan hanya dari Tuhan (14 – 20)

Mazmur ini dinaikkan bukan hanya kelegaan yang dirasakan pemazmur karena telah mencurahkan kegalauan hatinya, melainkan suatu kelegaan yang lebih besar bahwa Tuhan yang dulu menyertai dan menolongnya akan kembali datang menyelamatkannya. Daud berjumpa kembali dengan kasih setia Tuhan. Tabung imannya terisi kembali dengan anak-anak panah = pengertian akan karakter Allah.  Brueggemann menunjukkan melalui Mazmur ratapan, iman seseorang ditransformasi tatkala ia mengalami penderitaan. Meskipun pertolongan belum datang, keadaan belum membaik, dan tidak ada secercah harapan, namun ia bangkit kembali dalam iman yang ditransformasikan. Transformasi iman menjadikan kehidupan yang berubah, from hurt to joy, from death to life.

Renungan/refleksi Firman Tuhan

Ada dua respons pemazmur yang bisa kita tiru di sini :

Pertama, Penderitaan jadi alat yang memperdalam pengenalan akan Tuhan, mempertebal kesadaran bahwa pertolongan hakiki datang dari Allah bukan dari manusia. Kini ia tidak saja mengakui kasih setia dan pertolongan Allah, ia juga mengenali keterlibatan Allah dalam hidupnya. Ada beberapa kata yang berbeda yang diucapkan berulang kali tetapi maknanya sebenarnya sama, seperti kata lepaskanlah aku, jawablah aku, berpalinglah kepadaku, janganlah sembunyikan wajahMu kepada hambamu ini, datanglah kepadaku, tebuslah aku, dan bebaskanlah aku. Semua itu, menunjukkan pemazmur menempatkan Allah segala-galanya di dalam hidupnya. Pada kondisi apapun, jadikanlah Allah tumpuan dan tiang utama, termasuk dalam  penderitaan sekalipun, Sebab penderitaan bisa menjadi jalan Tuhan untuk menunjukkan kasih setiaNya. Jika penderitaan menimpa kehidupan kita atau masalah datang menyerang kita, sampaikanlah kepada Tuhan dengan iman yang sabar teguh, percayalah Tuhan itu mampu mengalahkan dan memenangkan kita dari permasalahan apapun yang kita hadapi, sekali lagi ingatlah satu hal “biarkan kehendakNya yang jadi” sebab atas kehendakNya-lah berkat dan kasihNya akan dicurahkan, bukan atas kehendak manusia.

Kedua, betapa indah ratapan melalui pergumulan doa yang berangsur menjadi pujian. Melalui penderitaan, pemazmur dimungkinkan menaikkan pujian dengan dimensi yang makin dewasa. Kenyataan membuktikan, hidup yang kita jalani adalah suatu perjalan kehidupan yang selalu diperhadapkan dengan berbagai penderitaan, terlebih  dalam perjalanan kehidupan sebagai orang percaya kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Kita akan terus berjuang untuk hidup sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Kehidupan yang harus kita jalani di dalam kesetiaan hanya kepada Allah yang hidup. Kita terpanggil untuk terus berjuang mempertahankan kehidupan beriman yang sungguh kepada Allah, sebagaimana Kristus tetap setia kepada BAPA di dalam kehidupanNya. Amen (h2pb2)

 

 

Minggu, 15 Februari 2015

JOHN B. COBB, Jr



JOHN B. COBB, Jr
( 1925 -     )

1. Pendahuluan
John B Cobb,Jr  satu teolog Amerika Utara yang memberikan pengaruh yang menonjol pada abad ke-20.  Cobb menghadirkan ”Teologi Operasi” yang dia sebut dengan transformasi kreatif yang membangun kembali Teologi Kristen melalui  keterlibatannya secara eksplisit dengan filsafat modern,  ilmu alam dan ilmu pengetahuan sosial.  Pandangan Cobb diwarnai oleh pemikiran Alfred North Whitehead[1] dan Charles Hartshorne[2] yang mencoba mencari pemahaman kembali tentang Teologi Kristen melalui doktrin filsafat modern.  Dapat dikatakan bahwa proses filsafat yang digunakan oleh Cobb telah menjadi pijakan yang secara konsisten memberikan pemahaman yang baru tentang Teologi Kristen melalui karya-karyanya dibandingkan dengan para teolog lain sejak tahun 1960-an.

2. Biografi
John B. Cobb,Jr  lahir di Kobe-Jepang pada 09 Pebruari 1925. Ia tinggal bersama orangtuanya yang bekerja sebagai misionaris gereja Metodis di Jepang  sampai tahun 1940. Pada tahun 1940, dia kembali ke tanah asalnya di Georgia dan masuk sekolah, setelah itu kuliah di Emory College yang sekarang disebut Oxford College. Pada tahun 1944, ia mengikuti wajib dinas militer dan berjumpa dengan kaum intelektual dari agama-agama lain termasuk orang Yahudi dan Katolik.  Pada periode itulah, Cobb mempunyai pandangan yang luas tentang di luar dari pietisme protestan. Setelah meninggalkan angkatan darat, Cobb kuliah program Divinity di Universitas Chicago. Ia tertarik pada kuliah yang diberikan oleh Charles Hartshorne yang memperkenalkannya kepada pemikiran-pemikiran Alfred North Whitehead. Dibawah bimbingan Hartshorne yang memperkenalkannya pada metafisika dan filsafat Whitehead,  lalu Cobb mempunyai gagasan yang baru tentang Allah. (Livingston 2006, 328)
Desertasi doktoral Cobb mendalami pertanyaan tentang kemungkinan keterbebasan Iman kristen dari kepercayaan spekulatif dan  sebuah latihan yang meyakinkan dia tentang ketidakmungkinan dari sebuah kebebasan. Isu-isu yang berhubungan dengan iman dan filsafat menjadi ketertarikan dan pusat dari karya-karyanya selama bertahun-tahun. Pemahamannya tentang Iman Kristen ternyata berubah pada pertengahan tahun 1960-an. Dia kemudian mengakui bahwa karya-karyanya sebelum tahun 1965 didominasi oleh  paham “Whiteadian Scholastiscm.”.  Walaupun proses skema kategorial yang dia dapatkan dari pemikiran-pemikiran Whitehead selalu terlihat didalam karya-karyanya, namun ide teknis yang biasa digunakan oleh Whitehead semakin jarang terlihat dan ide-idenya sendiri lebih kuat terlihat. Lebih jauh lagi, Tulisannya seperti layaknya karya Schubert Ogden yang merefleksikan sebuah usaha  sadar untuk bergerak lebih jauh lagi mengenai analisis abstrak teologi kepada pemahaman yang lebih luas dari makna teologis tentang tanggung jawab saksi-saksi Kristus dalam konteks terkini; contohnya, permasalahan tentang ekologi, ekonomi, ras dan gender.
Pada akhir 1960- an, keterlibatannya dengan organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang ekologi menjadi faktor penting dalam peningkatan karirnya. Banyak karya-karya tulisnya sejak awal 1970-an lebih berfokus kepada lingkungan dan isu-isu yang berhubungan dengan politik ekonomi. Beberapa bukunya, seperti, The Liberation of Life (1981) dan For the Common God (1989) ditulis dengan kolaborasi pandangan seorang ilmuwan yang profesional dan pandangan seorang ekonom.
Setelah melayani selama 5 tahun di Universitas Emory, Cobb bergabung dengan fakultas baru, Sekolah Teologia Claremont, di California. Di sana, dia melayani selama lebih dari 30 tahun, bertugas sebagai guru besar dan direktur proses pembelajaran  yang didirikan pada tahun 1973 bersama-sama dengan koleganya David Ray Griffin. Pada tahun 1971. Cobb dan Lewis Foyd, salah seorang penganut  filsafat proses yang terkemuka mendirikan Pusat Process Studies, sebuah terbitan yang didedikasikan untuk mendalami filsafat proses dan cabangnya  (Livingstone 2006, 327-328).

3. Pandangan-Pandangan Teologi John Cobb
3.1 Tuhan yang memanggil dan kemungkinan manusia
Tugas utama dari teologi adalah memformulasikan doktrin tentang Allah. Fakta ini sering dikaburkan pada generasi masa lalu yang kadang-kadang tampak bahwa manusia atau sejarah adalah perhatian utama dari teologi. Jika kita tidak berbicara tentang Allah, maka banyak dari apa yang telah kita katakan tentang manusia dan sejarah tidak berarti atau sewenang-wenang.  Pertanyaan dari realitas atau tidak realitas tentang ”Allah” dapat digambarkan dengan definisi. Artinya, di satu sisi adalah mungkin untuk menawarkan definisi ”Allah” yang akan membawa setiap orang menyangkal apapun yang berhubungan dengan terminologi tersebut. Misalnya, ”Allah” dapat didefinisikan sebagai mahluk yang tinggal di atas kita yang melampaui langit dan kadang-kadang turut campur di dalam peristiwa yang ada di planet ini. Jika ada makna yang jelas dapat melekat pada kata-kata tersebut, maka hampir semua kita akan menegaskan ketidakberadaan  dari mahluk, dan jika tidak ada arti yang dapat ditunjuk kepada kata itu, maka pertanyaan tentang keberadaan ”Allah” di dalam bagian ini tidak bisa muncul.  (Cobb 1998, 19)
Ajaran Cobb tentang kehendak Tuhan tidak melalui proses skema metafisika yang telah tertanam oleh metafisika Whitehead.  Walaupun Cobb di dalam pandangan dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Whitehead. Refleksi paham kepercayaan Cobb berpusat kepada Tema Allah sebagai sumber yang memiliki daya pencipta segala yang baru.  Cobb menunjuk Allah sebagai sumber transformasi kreatif.  Dalam bukunya God and the World (1969) dan karya-karya selanjutnya, Cobb juga memberikan perhatian yang besar terhadap konsep si-Allah “Konsekuensi alami”; dimana konsep ini menjelaskan tentang efek Tuhan terhadap dunia ini dan efek dunia ini terhadap Tuhan.  Ini menuntut  Cobb memberikan perhatian yang mendasar bagaimana seseorang mampu memberikan perhitungan yang tepat akan “tempat” Tuhan  di dalam tindakan ilahi-nya  di dunia ketika gagasan Allah ada ”di atas” atau ”di suatu tempat”  tidak lagi masuk akal. Jika cahaya diandaikan di situ maka bagaimana mengartikan tindakan Allah di keduanya antara alam dan sejarah manusia  (Livingstone 2006, 328).
Isu pertama yang diangkat oleh Cobb adalah kenyataan seperti apakah Allah itu jika kita tidak bisa menerima dan memahami Allah sebagai objek fisik diantara objek fisik lainnya atau membiarkan diri kita terjebak dalam dualisme yang memandang fisik dan mental sebagai dua kenyataan yang berbeda.  Kedua gagasan tersebut telah banyak  dideskreditkan. Fisik kontemporer dan proses filsafat misalnya, kedua hal tersebut menawarkan kritikan dari pemahaman fisik yang lebih tua.  Sebagai contoh, ilmu pengetahuan yang menunjukkan bahwa benda padat, objek yang tak berdaya yang membangkitkan gagasan naif kita tentang fisik yang ternyata adalah terdiri sub-atom yang sifatnya bertindak dan bereaksi. Elektron hanya dapat dipahami sebagai suatu rangkaian peristiwa. Blok bangunan dunia, benda-benda segala sesuatu yang lain juga disusun, adalah ”energy-events” (Livingston 2006, 329).
Jika fisik harus dimengerti di dalam terminologi “energy-events”, maka pertanyaan tentang hubungannya kepada pikiran maka harus dibaharui. Karena pikiran bukanlah sebuah realitas fisik  dalam arti lebih tua dari kata, sekarang mungkin dianggap menjadi pemahaman sebagai energy event.  Cara berpikir kita menerima energy dari masa lampau yang berada pada tubuh saya dan menyalurkan energi itu, lebih tepatnya memodifikasi, kepada subsequent event. Cara berpikir mempunyai kesatuan dan kreatifitas tersendiri. Tapi ini perlu untuk tidak dianggap sebagai kerinduan kepada peran yang berbeda dari menjadi sesuatu. Cobb menyarankan bahwa jika kita mampu untuk berpikir potensi energy setiap kejadian sebagai mana yang diterapkan kepada ketidaksadaran kejadian elektronik dan cara berpikir manusia kita bisa menyelasaikan masalah dualisme cartesian dan juga mampu berpikir tentang Tuhan dengan konsep baru ini – Tuhan sebagai energy spesial dari setiap kegiatan. Kita secara alami berpikir tentang energy elektronik berdiri sendiri.  Ketika kita berpikir tentang aktivitas energi dalam kesadaran pengalaman manusia, kita berpikir bahwa itu berasal dari luar. Tetapi Cobb menyarankan bahwa itu cukup tepat untuk berpikir aktivitas energi elektron sebagai sebuah subjek.
Cobb mengusulkan, untuk menggunakan pengalaman kita sendiri sebagai analogi yang paling dekat untuk berpikir tentang realitasTuhan. Seseorang, tentu saja dapat merespon secara cepat bahwa pengalaman subjektif  tergantung atas pikiran, penglihatan, suara dan yang lain, dan kita tidak bisa mengharap bahwa Tuhan juga memiliki hal yang serupa. Jawaban Cobb adalah krusial, karena itu harus melakukan dengan klaim dari filsafat proses, dengan nama bahwa pengalaman manusia tidak hanya berhubungan dengan panca indera...(karena) data fundamental dari pikiran manusia atau subjek bukanlah objek fisik di luar tubuh, tetapi enery-events di dalam tubuh. Cobb menjelaskan bahwa bagaimanapun pengalaman duniawi adalah dipenuhi panca indera, prioritas dari non-panca indera disimpulkan di dalam pengalaman manusia. (Livingston 2006, 329)
Cobb mengakui ada dua pertanyaan yang krusial dimanakah bisa energy event itu?  Baik citra transenden Allah ”di atas” atau citra immanen Allah ”di sana” dari penggunaan, karena keduanya dapat memaksa atau menyatakan secara tidak langsung hubungan yang renggang. Orang mungkin mengatakan bahwa Allah sekarang di sini, dan itu menolak bahwa Allah dapat dikenal mempunyai tempat yang sangat panjang di tempat yang lain. Atau, Cobb menunjukkan ke luar, karena ruang menyatakan secara tidak langsung keberadaan tubuh fisik, seseorang dapat mengatakan Allah adalah roh maksudnya Allah transenden melampui ruang dan waktu kita. Bahkan Cobb melihat tidak ada agama objektif berbicara tentang Allah sebagai nonspatial, ia lebih suka mengatakan bahwa ”Allah di mana-mana”. (Livingston 2006, 330)
Siapa yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dimana-mana dan siapa saja yang meng-klaim bahwa Tuhan ada dimana-mana, secara tepat, menyangkal bahwa Tuhan terikat oleh cara pandang yang terbatas antara ruang dan waktu. Tetapi perbedaan theologis yang ditafsirkan  oleh pemahaman ini sangat penting. Pihak yang menyatakan bahwa Tuhan tidak ada dimana-mana berarti mengatakan bahwa Tuhan berbeda dari segala bentuk energi yang ada. Namun pihak yang mengatakan bahwa Tuhan ada dimana-mana berarti percaya bahwa “Keberadaan Tuhan adalah sebuah fungsi dari omni-spasial atau semua pandangan inklusif tentang Tuhan”.

3.2. Pluralisme yang Kristosentris
            Pengalaman tinggal di Jepang serta ketika mengikuti dinas meliter dan bertemu dengan penganut agama yang lain membuat Cobb memahami betapa pentingnya pluralisme.  Cobb setuju dengan pluralis bahwa tidak ada agama yang bisa mengklaim secara mutlak atau akhirnya unggul di atas semua orang lain – tetapi bukan karena sebagai seorang pluralis maka mengatakan semua agama memiliki dasar yang sama (atau penting), tugas masing-masing membawa keluar kesamaan yang buruk, tetapi lebih karena semua memiliki tugas yang berbeda dan karena itu anda tidak bisa mengatakan bahwa seseorang melakukan tugas sendiri lebih baik daripada yang lain. (Cobb 1999, 61)
            Cobb ingin menghormati dan melestarikan perbedaan nyata di antara agama-agama. Dia takut bahwa pluralis tidak melakukan ini. Dia benar-benar menuduh  pluralisme tidak menjadi cukup majemuk; dalam pembicaraan mereka tentang apa agama-agama memiliki kesamaan, mereka melupakan perbedaan. Cobb jelas mengakui bahaya dalam ke-asli-an pluralisme nya sendiri, karena itu dengan mudah dapat tergelincir ke dalam apa yang disebut ”Konsep Relativisme”. Jika semua agama benar-benar berbeda, kebenaran dari suatu agama menjadi apa yang pernah agama mengatakan itu. Tidak akan ada kriteria antar agama untuk apa yang benar dan untuk apa yang salah.  Jadi Cobb mengusulkan di dalam tulisannya ”Relatively objective norm” (norma relatif objektif) bahwa ia menganggap semua agama terlibat dalam dialog yang mengiakan bahwa ada lebih banyak kebenaran dari apa yang mereka ketahui dalam agama mereka sendiri, dan mereka dapat belajar sedikit lebih dari ”lebih” yang lain oleh keterbukaan diri mereka sendiri kepada dan berbicara dengan agama lainnya. (Cobb 1999, 61)
Cobb menganjurkan sebuah teologi yang berhasil menjadi kristosentris dan pluralistik dalam pendekatannya terhadap agama-agama lain. Ia menyatakan bahwa kristosentrisme berakar pada Sofia, atau hikmat ilahi yang merupakan esensi (hakikat) Allah yang terwujud di dalam Kristus. Ia mengaskan bahwa orang Kristen harus menolak arogansi, eksklusivisme, dan dogmatisme, karena semua itu adalah halangan bagi transformasi kristologis yang kreatif. Dalam pehamanan ini, agama-agama lain dapat menghampiri esensi Kristus tanpa harus percaya kepada Kristus. Cobb melihat Yesus sebagai pusat sejarah, tetapi bukan keseluruhan dari sejarah. Ia melihat perlunya memperluas sejarah ini hingga mengikutsertakan agama-agama lain. Bahkan bila proses kreatif kristologis ini menyebabkan orang mengganti posisi sentral Kristus di dalam sejarah itu dengan sesuatu yang lain, katanya maka penggantian itu sendiri adalah kesetian dan sikap yang jujur (true) kepada Kristus. (http://id.wikipedia.org diakses pada 22 Oktober 2012)

3.3. Kristus dan Penciptaan Transformatif
            Sebagai seorang teolog kristen, Cobb membuat transformasi kreatif sebagai dasar dari pemikirannya tentang kristologi.  Dalam hal ini, Whitehead dan Wieman mempunyai pengaruh besar di dalam pemikiran Cobb. Dia menjelaskan kristologi-nya lebih sedikit daripada “Jesuslogis”  yang kedua nya menjadi manusia di dalam Kristus dan perwujudan dari pekerjaan Yesus di dalam dunia ini. Cobb menentang menggunakan kata “Kristus” karena dia merasakan bahwa itu tidaklah perlu “membingungkan Yesus yang di dalam nama Allah hadir dengan jelas bersama Allah sendiri”. Refleksi Cobb pada kristologi mengungkapkan perkembangan yang sifnifikan. Dia berbicara tentang Kristus sebagai Logos keilahian. (Livingston 2006, 332).
Inkarnasi logos adalah Kristus. Dalam arti luas, Kristus hadir dalam segala hal, tetapi ada dalam dua kualifikasi. Pertama, walaupun tidak ada garis yang mutlak antara benda yang tak ber-nyawa dan dunia ber-nyawa, namun yang ada terlebih dahulu adalah kehadiran Logos yang hampir tidak dapat dibedakan dari pengulangan masa lalu. Hal inilah di dalam mahluk hidup bahwa pekerjaan dari Logos ber-manifestasi signifikan. Kedua, sebagaimana kita sepakat dengan organisme yang mana pekerjaan Logos secara khusus harus dipahami. Ini berarti bahwa tingkat efektivitas logos dalam mahluk sebagian besar ditentukan oleh mahluk itu.(John B Cobb & David Ray Griffin 1976, 98)  
Bagi Cobb sangat membingunkan membedakan antara Yesus sebagai pewujudan Tuhan dan Jesus sebagai dirinya sendiri. Dalam Christ in Pluralistic Age (1975), refleksi Cobb tentang Kristologi mengungkapkan perkembangan yang signifikan dalam perkembangan pemikirannya. Dia menjelaskan bahwa Kristus adalah sebuah logos. Dia melakukan hal tersebut terkait erat hubungannnya dengan pemahaman lama tentang kehadiran Tuhan sebagai tujuan awal dimana setiap subjek ditentukan bagaimana mereka membentuk dirinya sendiri, dan Tuhan sebagai perwujudan transformasi kreatif didunia (Livingston 2000, 332)
Untuk berbicara tentang Kristus sebagai logos membutuhkan pemahaman teologi Kristen bahwa kata “Kristus” mengacu kepada fakta yang universal, dan refleksi pada logos membawa karekteristik tentang Kristus sebagai transformasi kreatif.  Jika, di dalam fakta Kristus sebagai inkarnasi logos adalah transformasi kreatif , maka teologi Kristen tidak  boleh berpuas diri  kepada hanya penemuan Kristus atau utama di dalam sejarahnya sendiri, itu harus jelas tercermin dalam seluruh kehidupan. Kristus sebagai transformasi kreatif harus dapat ditemukan, tidak hanya dalam suasana beragama atau didalam gereja, tetapi juga harus ditemukan didalam ilmu pengetahuan, philosophy, seni dan organisasi social – dimanapun transformasi kreatif  itu berada (Livingston 2006, 332)
Transformasi kreatif adalah esensi pertumbuhan, dan pertumbuhan adalah esensi kehidupan. Pertumbuhan tidak tercapai hanya dengan menambahkan berbagai elemen di dunia yang diberikan dalam kombinasi yang berbeda. Namun itu, membutuhkan transformasi elemen-elemen melalui pengenalan yang baru. Hal itu akan mengubah sifat dan makna, tanpa harus menekan atau menghancurkan mereka. Sumber baru itu adalah logos, yang berinkarnasi  adalah Kristus, di mana Kristus secara efektif hadir. Itu adalah transformasi kreatif.  Transformasi kreatif terlibat dalam seluruh respon kasih. Mengasihi orang lain adalah jalan yang mengizinkan orang lain merasakan pengaruh di dalam dirinya sendiri. Namun perasaan itu berbeda dari diri sendiri yang tidak dapat hanya ditambahkan kepada mereka. Biasanya, untuk melindungi diri kita sendiri, kita menutup perasaan orang lain dari setiap kontribusi yang kaya dengan pengalaman  kepada pengalaman kita sendiri. (John B Cobb & David Ray Griffin 1976, 100) 
Cobb menegaskan bahwa Kristus dapat menjadi kehadiran yang penuh dan efektif, pemahaman di dalam hak, kebenaran dan keterbukaan. Bagi orang Kristen, makna lgos sebagai kasih diinkarnasikan di dalam Yesus karena Yesus membawanya di dalam sejarah keberadaan umat manusia. Itu sebabnya, kreatif kasih Allah menghasilkan transformasi kreatif di dalam penciptaan. Satu arah utama bahwa transformasi adalah menuju perluasan dari mengantisipasi masa depan yang akan terpengaruh oleh tindakan seseorang. Ini memperluas cakrawala untuk tidak menghancurkan masa depan karena kepentingan sendiri. Kepentingan yang lebih besar menempatkan kepentingan yang lebih terbatas tentang aspek masa depan di dalam terang yang baru dan memberikan mereka aturan yang baru. Orang yang bekerja di dalam kreatif kasih yang sempurna maka pekerjaan itu jalan transformasi kreatif (John B Cobb & David Ray Griffin 1976, 101) 

3.4. Teologi Proses sebagai transformasi kreatif
            Teologi ini muncul di Amerika sekitar tahun 1960-an dibangun atas dasar filsafat proses yang dikemukakan oleh Alfred North Whitehead salah satu yang memberikan pandangan bagi Cobb. Teologi proses merupakan reaksi terhadap paham panteisme yang tidak cukup membedakan Tuhan dari dunia, maupun pada monoteisme yang terlalu memisahkan manusia dari Tuhan. Di dalam teologi proses memahami dunia sebagai sebuah organisme sosial, sebuah kesatuan yang saling bergantung dan berhubungan, yang bertumbuh ke arah pemenuhan melalui sebuah jaringan dari pengaruh-pengaruh yang saling mempengaruhi yang merupakan tujuan persuasif  Tuhan. Dalam proses ini, Tuhan dipengaruhi oleh dunia sebagaimana Ia mempengaruhi dunia (Paul S.Fiddes 1993, 472)
            Teologi Proses sering juga disamakan dengan Teologi Keterbukaan, walau sebenarnya memiliki perbedaan. Cobb menjelaskan perbedaan utama di konteks dan di konstituen. Teologi keterbukaan adalah perkembangan dari pengalaman dan refleksi dan sensitifitas komunitas Evanggelis konservatif. Mereka melihat bahwa beberapa pengajaran yang diwariskan dari masyarakat tidak sejalan dengan pengalaman hidup sebagai orang kristen atau Alkitab dan mereka melakukan modifikasi. Mereka tidak melihat modifikasi sebagai cara pertentangan iman dan penting membuat mereka berkompromi dengan budaya sekuler. Sedangkan Teologi Proses membuat orang bereaksi kuat melawan bentuk konservatif dari iman kristen. Mereka adalah orang-orang yang terbuka yang kagum kepada intelektual dan alasan-alasan eksistensial, bahkan mereka meyakini di dalam Allah seluruhnya. Beberapa bereaksi menentang cara-cara Alkitab yang memaksa seperti kekuasaan eksternal yang sewenang-wenang  (John Cobb 2003, 81). Intinya, kedua teologi ini menentang solusi dari berbagai persoalan hidup dengan cara-cara yang jahat, namun menempatkan cinta kasih sebagai pusat pengajaran mereka.
Teologi Proses tentunya memberi warna baru bagi dunia teologi pada masa itu. Di tengah maraknya perkembangan paham monoteisme yang terlalu memisahkan manusia dari dan perkembangan paham panteisme yang tidak cukup membedakan Tuhan dari dunia. Teologi Proses memberikan jalan tengah dengan mencetuskan panteisme – sebuah paham yang melihat bahwa Allah tidak berada “di luar” ataupun “ di samping” dunia dan juga tidak ada sebelum dunia dijadikan, tetapi selalu korelatif atau ada bersama-sama dengan dunia. Dalam paham ini, Tuhan tidak dimengerti sebagai “yang sama sekali lain” tetapi sebagai “kawan baik atau teman sependeritaan yang (bisa) mengerti”.  
Teologi proses dasar bagi teologi natural yang tidak hanya mendamaikan antara sains dengan agama, tetapi juga mendukung etika dan visi ekologis. Ada beberapa gambaran alam yang penting bagi visi ekologis. Pertama, tidak ada dualisme antara alam dan humanitas. Semua individu memiliki nilai intrinsic dan karena itu layak untuk menerima penghormatan atas dirinya. Kedua, teologi proses tidak memproklamirkan ide bahwa semua individu memiliki tingkat nilai intrinsic yang sama. Ketiga, bagian-bagian yang membentuk dunia adalah peristiwa yang singkat yang membentuk diri mereka dengan menyatukan aspek-aspek dari peristiwa lain dalam lingkungan untuk menjadi sintesis yang kreatif, seperti yang dikembangkan oleh Cobb di dalam transformasi kreatif. Keempat adalah bahwa “yang lain” yang termasuk dalam setiap kejadian bukan hanya sekedar proses terbatas yang lain dalam lingkungan tetapi merupakan keseluruhan proses inklusif Allah.
Teologi Proses adalah salah satu gerakan teologis yang paling terbuka, yang diarahkan ke luar dengan kepentingan dalam terlibat dengan masalah yang dihadapi umat manusia dan dunia.  Pernyataan tentang gereja adalah terang di dalam ketegori teologi proses. Berbagai persoalan yang genting ada bersama dengan kita dan juga bersama dengan gereja. Apakah gambaran gereja yang aktual sekarang ini? Apakah itu sebenarnya ditemukan lebih di dunia luar gereja daripada dalam gereja itu sendiri? Apakah mungkin bahwa gereja telah menutup diri mereka kepada Kristus dan bukan gereja sama sekali? Eklesiologi harus peduli pada dirinya sendiri sebagai hubungan keberadaan gereja dan membentuk gambaran ideal gereja sesungguhnya. (John B Cobb & David Ray Griffin 1976, 128)
Motif utama dalam tulisan Cobb adalah ide tentang “transformasi kreatif”. Transformasi kreatif di berbagai dimensi kehidupan baik dalam bidang moralitas, aksi politis, hubungan personal, seni, ekologi melalui perkenalan sesuatu yang baru. Sumber dari sesuatu yang baru itu adalah logos yang berinkarnasi dalam Kristus. Kehadiran Kristus menjadi penting bagi eksistensi transformasi kreatif atau teologi proses. Kehadiran Kristus yang merupakan perwujudan kasih Allah menjadikan kasih kreatif manusia menjadi sesuatu yang mungkin, dan kasih ini dalam kenyataannya merupakan sebuah kondisi dari transformasi kreatif. Dengan transformasi ini, manusia bebas untuk mengasihi atau peduli dengan sebuah cara yang memungkinkan untuk menghadirkan kasih yang lebih lagi yakni kasih yang merupakan respon pemenuhan Roh Kudus. Dalam bukunya yang ditulis bersama Griffin “Process Theology an Introductory Exposition”, jika gereja ingin mengambil bagian dalam hal ini maka gereja harus secara kreatif ditransformasikan melalui keterbukaannya terhadap Kristus. (John B Cobb & David Ray Griffin 1976, 131). Dengan demikian gereja harus terbuka dalam menanggapi ide, bahkan yang tidak sesuai dengannya sekalipun. Teologi praksis akan ditemukan pada titik-titik di mana praksis sangatlah penting.

3.5. Teologi dan “Praxis” Teologi Ekologi sebagai contoh
Awal yang menentukan karya teologi John Cobb terjadi di tahun 1969 ketika dia menyadari bahwa dia tidak dapat membuat jarak refleksi teologinya dari keterlibatan yang mendalam di politik dan sosial. Dan krisis ekologi yang pertama membuat Cobb sadar bahwa teologi tidak bisa bertindak tertutup dari tindakan etisnya, dan melaksanakan secara efektif kemungkinan melalui transformasi konteks sosial-politik . Cobb menegaskan bahwa teologi hanya bisa dilakukan dengan refleksi yang mendalam dan keterlibatan dalam konteks sosial dan politik dan mentransformnya dalam tindakan nyata. (Livingstone 2000, 333).
Cara pandang  si-Whitehead Cobb dalam melihat kehidupan manusia lebih menyeluruh kepada hubungannya dengan alam dan lingkungan dan menemukan nilai hakiki di seluruh bagian natural kehidupan manusia. Orientasi teologi yang menuju sejarah manusia dan manusia itu sendiri cenderung menekan atau mengabaikan keberadaan manusia itu sendiri di dalam kehidupan yang universal di mana kita merupakan bagian besar dari alam semesta ini. Teologi Proses pada sisi yang berseberangan sangat menyadari kenyataan hidup manusia di planet ini dan implikasi refleksi Allah dan Alam. Sebagaimana Cobb menjelaskan :
Process theology intends to think through the meaning for our existence and actions of the space-time scales that scientific cosmology suggests. It affirms there was real value and enjoyment in the aeons of time before high forms of life appeared anywhere in the universe but that the level and importance of enjoyment increased greatly when on this planet animals and finally humans emerged.  (Livingston 2006, 334).
Ancaman bagi seluruh kehidupan di planet ini membuat setiap orang harus berpikir, menjadi peringatan dan perhatian yang serius. Cobb melihat komunitas jangka pendek di bidang pertanian, manajemen sumber, perkembangan ekonomi, politik  untuk meredakan strategi yang menyebabkan kehancuran lingkungan lebih besar lagi. Sebagai contoh, atas nama ‘perkembangan” di dunia ketiga membawa pertumbuhan industry, kerusakan alam, penipisan sumber daya alam dalam jangka yang panjang dan menimbulkan kerusakan ekosistem mengancam jiwa yang terus menerus. (Livingston 2006, 334)
Cobb berbicara tentang cakrawala refleksi kondisi manusia sebagai ke-narsis-an pada “manusia”.  Kecongkakan manusia yang gagal untuk menghargai hubungan kita dan kepedulian hal-hal esensial untuk kesejahteraan dari dunia.  Etika teologi Cobb terlihat dari model kehidupan tentang ekologi yang menyatakan bahwa semua mahkluk hidup terhubung satu sama lain, dan mahkluk hidup mampu melewati masa lalu melalui pembaharuan, dan kehidupan merefleksikan kekayaan dari sebuah pengalaman. Tetapi jika prinsip dari hak dan keadilan dianggap  hal yang tidak dapat diganggu gugat dari individu dan standar yang tidak berubah atau yang dianggap ideal oleh seseorang, maka akal sehat akan menawarkan bahwa keadilan pada dasarnya bertolak belakang dengan  pemahaman teologi proses dari setiap entitas sebagai organisme yang terhubung satu sama lain.
Cobb mencoba menyuarakan teologi yang lebih berpihak kepada alam. Inovasi dan kebutuhan umat manusia dalam memenuhi kebutuhannya telah membuat alam semakin cepat rusak dan tidak layak ditinggali. Ia menyebutkan, yang dimaksud dengan  kata “pembangunan” dalam negara-negara dunia ketiga adalah percepatan pembangunan industry, perusakan hutan, kerusakan tanah dan lingkungan secara massif yang ternyata hanya mengancam keberlangsungan ekosistem itu sendiri. Cobb menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi didunia barat dilihat sebagai sesuatu yang baik, namun tidak ada kesadaran efek jangka panjang dari perkembangan ini didalam keseimbangan alam.
Dunia barat bertentangan dengan sejarah dan alam yang memiliki akar di dalam Alkitab, khusus kepedulian alam di dalam Perjanjian Baru. Bagaimanapun, secara bentu ekstrim dicatat  penghancuran yang dilakukan , itu adalah produk dunia modern. Dalam perjalanan sejarah bagaimana aktivias manusia yang meningkatkan ancaman global. Gambaran dunia barat mengacaukan alam dengan  teori mereduksi alam kepada fungsi kondisi manusia atau statis, dan keinginan manusia dinamis. Bahkan sekarang, ketika bahaya terlalu nyata untuk diabaikan seluruhnya, Barat mengusulkan bahwa mereka harus diselesaikan dengan program eksploitasi sumber daya yang hampir tidak berbeda dari orang-orang yang telah menyebabkan masalah.( (John B Cobb & David Ray Griffin 1976, 131)
Cobb menyadari bahwa model ekologi dalam melaksanakan teologi secara berangsur-angsur telah melibatkan ilmu pengetahuan yang nyata. Teologi Ekologi sebaliknya tidak akan membatasi kepedulian terhadap lingkungan dengan perannya dalam mempertahankan masyarakat manusia. Dari sudut pandang teologi proses, keadilan mensyaratkan bahwa seluruh penciptaan harus diperlakukan dengan hormat dan diakui memiliki realitas dan nilai-nilai bagi kegunaan manusia. Ciptaan yang lain adalah nilai di dalam diri mereka sendiri untuk Allah. (Livingston 2006, 335)
Dia menekankan bahwa semua itu adalah tugas dari para teolog untuk mentransformasi tidak hanya kesadaran kita atas alam, ekonomi, politik, dan pemahaman kita atas gender dan ras, tetapi juga hubungannya dengan iman Kristen terhadap pandangan dari agama-agama lain di dunia. Kekristenan seperti halnya entitas dan masyarakat lainnya haruslah berkembang dan berubah (Livingstone 2000, 334-335).

4. Tanggapan Kritis
Melalui pemikiran John B. Cobb,Jr , kita dapat menemukan nuansa baru di dalam ber-teologi. Teologi bukanlah sekedar berbicara tentang “yang di atas” atau “yang di sini/ yang di sana”, tetapi teologi ada bersama-sama dengan kehidupan ini. Ber-teologi adalah memformulasikan terus menerus pengajaran Allah yang terbuka di dalam kehidupan ini. Eksklusif agama dan klaim-klaim kebenaran agama tertentu mempersempit peranan teologi di dunia ini. Gereja atau orang Kristen harus memahami kembali akan inkarnasi Kristus di dunia yang telah mentransformasikan Kasih dan keberadaanNya sendiri bagi dunia ini. Inilah jembatan yang selalu baru untuk menghubungkan seseorang dengan orang lain dan hubungan manusia dengan seluruh dimensi kehidupan. Manusia tidak bisa bersikap arogan, tertutup bahkan memaksakan doktrinnya supaya diikuti oleh orang lain. Semua hal-hal yang negatif dan sikap hidup yang merasa lebih benar dari orang lain akan menghambat terjadinya transformasi kreatif di dalam kehidupan manusia.
Pemahaman tentang Kristus sebagai transformasi kreatif yang hadir di setiap penganut agama dalam wajah kasih membuat perlunya terus menerus membangun dialog yang konstruktif. Wujud transformasi Kristus di setiap agama dan penganut dapat diyakini ada melalui hubungan dan dialog yang sejajar. Kristus adalah penyebab utama menentukan pentingnya gereja. Tanpa mewartakan Kristus,  gereja tidak berarti apa-apa.
Cobb juga menegaskan bahwa orang Kristen harus bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam dan kelangsungan kehidupan mahluk. Dunia ini sudah tidak nyaman ditinggali bila model eksploitasi yang membabi buta tetap dipertahankan sampai hari ini.  Teologi proses yang menjadi dasar teologi natural tidak hanya mendamaikan sains dan agama tetapi mendukung etika dan visi ekologis.

DAFTAR ACUAN :

Cobb Jr, John B. 2000. God And The World. Oregon: Wipf & Stock Publisher
Cobb Jr, John B. 2003. The Process Perspective. Missouri: Chalice Press
Cobb Jr, John B dan Griffin, David Ray.1976, Process Theology an Introductory Exposition, Philadelphia: The Westminster Press
Livingstone, James C., Francis Shussler Fiorenza, dkk. 2000. Modern Christian Thought. Minneapolis: Fortress Press
Paul S. Fiddes, Process Theology dalam Alister E. McGrath (ed.), The Blackwell Encyclopediae of Modern Christian Thoughts,(Cambridge: Blackwell Publisher.
http://id.wikipedia.org diakses pada 22 Oktober 2012



[1] Alfred North Whitehead adalah seorang matematikawan Inggris yang menjadi filsuf. Ia menulis tentang Aljabar, Logika, Dasar Matematika, Filosofi Ilmu Pengetahuan, Fisika, Metafisika dan Pendidikan. Dia lahir di Ramsgate, Kent Inggris, 15 Februari 1861. (http://id.wikipedia.org/wiki/Alfred_North_Whitehead)
[2] Charles Hartshorne adalah seorang filsuf Amerika yang terkemuka. Dia lahir 5 Juni 1897. Dia mengembangkan ide klasik baru dari filsafat agama-agama  sebagai modal dari keberadaan Allah. Dia juga dicatat mengembangkan filsafat proses ke teologi proses dari Alfred North Whitehead. (http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Hartshorne)

Mazmur 84 : 1 - 7

Mazmur 84 : 1 - 7 84:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur bani Korah.  84-2 Betapa disenangi tempat kediaman-Mu ,  ya ...