ALLAH TELAH MENGASIHI KITA
(bdk. 1 Yoh 4:19)
Jingle Bells Jingle Bells Jingle all the way Oh
what fun it is to
ride In a one horse open sleigh. Jingle Bells Jingle Bells...................
ride In a one horse open sleigh. Jingle Bells Jingle Bells...................
(Barry Manilow)
Pohon natal telah berdiri, lampu warna-warni
telah menyala, pertanda natal sebentar lagi tiba. Beragam perasaan muncul di
dalam hidup kita menyambut perayaan itu. Anak-anak beriang-gembira dengan baju
baru, sepatu baru, dan berbagai hiburan. Bagaimana dengan kita sebagai orang
tua? Apakah kita bisa seriang anak-anak kita menyambut Natal itu? Atau malah
kita semakin stress karena banyaknya pengeluaran? Tentunya tidak salah kita
merayakan Natal dengan kegembiraan seperti anak-anak kita. Tapi janganlah kita
lupakan akan esensi Natal yang sesungguhnya bagi kehidupan kita?
Setiap merayakan Natal di dalam hidup kita,
disitulah kita kembali merefleksikan arti Natal bagi diri kita. Natal adalah
saat kita melihat kembali Karya Allah yang dinyatakan di dalam kehidupan kita. Karya
nyata yang terbesar itu adalah AnakNya yang tunggal dihadirkan di dalam
kehidupan ini. Inilah yang membawa kita kembali mengingat Bayi Natal melalui
Tema Natal “Allah telah mengasihi kita” (1 Yoh.4:19). Seluruh aktivitas Allah
adalah tindakan kasih. Ia menyatakan diri dalam kasih kepada manusia. Ia
mengasihi manusia tanpa membedakan. Ia tidak menuntut syarat apa pun dari
manusia sebelum menyatakan kasih-Nya. Ia mengasihi orang benar maupun orang
jahat dan semuanya tidak pernah lepas dari kasih-Nya. Demikianlah, Allah Bapa
di surga, “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan
hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45).
Bila kita runut kebelakang sejenak, siapakah kita
ini sehingga Allah harus mengasihi kita? Kita adalah orang-orang yang berdosa,
yang tercela dan tidak patut untuk diselamatkan. Sebagai mana Paulus mengatakan
bahwa upah dosa adalah maut (Roma 6:23). Hanya kematianlah yang patut kita
terima akibat dosa yang semakin merajalela. Allah tidak berpikir demikian,
justru bagi Allah kita sangatlah berharga.
Yesus rela menanggung penderitaan agar kita dibebaskan dari maut. Yesus
pun rela menanggung semua itu karena Ia mengasihi manusia dan melihat semua
manusia sebagai sahabat. Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikan
nyawa-Nya sendiri untuk para sahabat-Nya. Sabda-Nya, “Tidak ada kasih yang
lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).
Demikianlah Allah “telah mengaruniakan Anak-Nya
yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal” dan Ia telah “mengutus Anak-Nya ke dalam
dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia”
(Yoh 3:16-17). Jelas bahwa “bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah
yang telah mengasihi kita” (1Yoh 4:10). Allah tidak menunggu manusia mengasihi
diri-Nya dan baru kemudian Ia mau mengasihi mereka. Yesus datang ke dalam dunia
dan hidup di tengah manusia bukan karena manusia itu baik. Sebaliknya, Ia rela
meninggalkan kemuliaan surgawi dan mengurbankan diri-Nya justru karena manusia
berdosa dan tidak sanggup melepaskan diri dari ikatan dosa. Semua ini
dilakukan-Nya semata-mata karena Ia menghendaki kebaikan dan kebahagiaan
manusia. Allah menghendaki manusia hidup bahagia dalam kemuliaan abadi bersama
Dia.
Mengasihi seperti Allah
Bagaimana respon kita di masa-masa natal yang
tidak lama lagi kita rayakan? Apakah kita hanya sampai di perayaannya saja dan
kering implementasi makna? Kehadiran Kristus sebagai manusia di dalam dunia ini
mengajak kita untuk mengasihi seperti Allah. Sabda menjadi manusia untuk
menjadi teladan kita dalam mengasihi. Seperti Allah yang menyatakan kasih-Nya
dalam diri Kristus, kita diingatkan untuk mengasihi sesama semata-mata karena
kita menginginkan orang lain bahagia. Hal ini juga berarti bahwa kita diajak
untuk mengasihi sesama tanpa membuat pembedaan, walaupun mereka tidak berlaku
seperti yang kita harapkan. Jika demikian, kita berlaku seperti Allah dan
menjadi anak-anak Allah. Hanya orang yang membuka hati dan menyadari kasih
Allah akan dapat mengasihi Allah dan sesama. Jika orang mengatakan bahwa ia
mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya, ia berdusta karena tidak mungkin
mencintai Allah yang tidak kelihatan tanpa mencintai sesama yang kelihatan.
Siapa yang mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (bdk. 1Yoh
4:20-21). Dasar untuk saling mengasihi ini adalah kasih Allah. Dengan kasih
seperti itulah orang
diajak untuk mengasihi sesamanya. Dalam terang kasih itu, kami
mengajak Saudara-saudari untuk menanggapi kasih Allah dengan bertobat dan
sungguh-sungguh mewujudkan kasih dengan memperhatikan beberapa hal penting
berikut ini: Pertama, Allah mencintai semua orang maka kita juga harus
mencintai semua orang. Semua orang adalah bagian dari kehidupan kita. Kita
tidak akan bisa hidup tanpa orang lain. Kedua, Tuhan melibatkan dalam berbagai
usaha yang baik maka kita juga melakukan hal-hal yang baik. Ketiga, sebagaimana
Tuhan juga berbagi dengan kita, maka kita juga harus berbagi apapun yang kita
miliki untuk orang lain. Keempat, Tuhan memprihatinkan apa yang terjadi di
dunia ini, maka kita juga harus memprihatinkan yang terjadi di tengah-tengah
dunia ini. (h2pb2)