Minggu, 16 Oktober 2011

Lukas 15 : 11 - 24

Perikop Anak yang hilang (Luk 15:11-32), adalah lanjutan dari perikop sebelumnya. Oleh karena itu sangat baik bila mendalami nats ini dengan tidak melupakan peristiwa sebelumnya. Pada perikop sebelumnya, diceritakan para pemungut cukai dan ahli-ahli taurat bersungut-sungut (ay.2) karena Yesus menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka. Akhirnya Yesus menjelaskan-Nya melalui 3 (tiga) perumpamaan yang berkonotasi “hilang” yakni : 1) Perumpamaan tentang domba yang hilang (ay.4-7); 2) Perumpamaan tentang dirham yang hilang (ay.8-10), dan 3) Perumpamaan tentang anak yang hilang (ay.11 – 32). Menariknya setelah si- “hilang” ditemukan timbul suasana kesukacitaan yang luar biasa. Untuk kisah pertama dan kedua sangatlah wajar, tetapi untuk kisah ke-3 sangat aneh dan saya katakan luar biasa. Dalam perikop anak yang hilang, yang menjadi pertanyaan penting adalah anak yang mana yang dikatakan hilang? Di awal narasi dijelaskan bahwa si-bungsu meminta harta orangtuanya yang menjadi haknya, dan dihambur-hamburkan sehingga habis dan timbul penyesalan. Akhirnya si-bungsu kembali ke pangkuan orangtuanya lalu dibuatkan pesta yang meriah bukan dimarahi atau diusir dari rumah mereka. Dan ini menjadi alasan bagi si-sulung tidak dapat menerima ke-diskriminasian yang diperbuat oleh bapanya. Di akhir perikop ini tidak dijelaskan apakah si-sulung turut berpesta dengan si-bungsu atau malah juga “hilang” seperti si-bungsu? Untunglah HKBP hanya membatasi perikop ini sampai ayat 24 “happy ending”. Ada banyak ruang untuk membuat pertanyaan-pertanyaan seperti di atas tadi dari kisah ini. Salah satunya lagi datang dari si-bungsu sendiri. Apakah niatnya untuk kembali benar-benar timbul dari penyesalan yang terdalam atau karena sudah di ujung krisis hidup? Atau apakah dia tidak akan melakukan perbuatan yang sama setelah dibuatkan pesta, karena ayahnya tidak marah atau membuatnya menjadi budak di rumahnya seperti harapan klimaks dikeputus-asa-an yang pernah dia alami. Kelihatannya penulis Injil ini tidak perlu melihat sampai di sana, karena essensi kisah ini sangat jelas menekankan perihal Bapa yang selalu baik menerima apapun yang dilakukan anak-anaknya apalagi anak yang mau berbalik ke-pelukan sang bapa. Yesus sebenarnya melukiskan melalui Perumpaan ini Allah yang penuh kasih dan pengampun. Sedangkan anak yang bungsu adalah orang-orang yang berdosa, pemungut cukai yang senantiasa mau berbalik dan kembali ke pelukan sang Bapa. Untuk lebih jelasnya dapatlah dipaparkan beberapa hal yang esensi dari perikop ini. 1. Hidup baik dan benar selalu mendatangkan kebahagian. Pdt.Daniel Harahap mengatakan diluar kebaikan dan kebenaran tidak ada kesenangan/kebahagian yang sejati.(Daniel Harahap, www.rumametmet.com) Ada beberapa kesalahan yang diperbuat oleh si-bungsu yakni keluar dari koridor kebenaran dan kebaikan yang ditetapkan oleh bapanya. Menuntut warisan walaupun ayahnya masih hidup, dan mempergunakan harta warisan untuk berfoya-foya tentu saja melukai hati si-Ayah. Dan semua itu berujung kepada penderitaan sampai kepada titik nadir penyesalan. Allah memang memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih apa yang diinginkannya, tetapi Allah juga membuat koridor/patron untuk kita tetap hidup di dalam kehendakNya (bnd.Manusia pertama di taman eden) supaya mendatangkan sukacita dan kebahagian. 2. Mengakui dosa dan mau meninggalkannya adalah jalan kesukaan Tuhan Allah senantiasa menanti dan mengharapkan kita yang berdosa untuk bertobat (metanoia) (bnd.Yeh.33:11). Pertobatan (metanoia) adalah sikap untuk menyadari perbuatan, mau berubah dan kembali ke jalan yang diingini Tuhan. Pertobatan dan mohon pengampunan dari si-bungsu menghadirkan euforia kebahagian dari si-bapa. Dikatakan bapanya berlari mendapatkannya, merangkulnya dan menciumnya, padahal ia begitu kotor dan najis. Seperti juga kita manusia yang berdosa – lalu sadar – bertobat - berbalik memohon pengampunan, Allah seakan berlari menyambut kehadiran kita. Sesungguhnya Allah tidak mau mengingat-ingat kesalahan yang kita lakukan. 3. Kasih setia Bapa yang tidak pernah putus-putusnya Tuhan memang baik. Dia tidak membalas setimpal dengan dosa dan kesalahan kita. Dia begitu sayang dan penuh kasih kepada kita dan ingin kita hidup bahagia. Belas kasih Tuhan digambarkan dengan kata Splagnizomai dari kata splagnon yang berarti bagian dalam dari tubuh, seperti jantung, hati atau paru-paru. Itu berarti belas kasih Tuhan ditunjukkan dari ungkapan yang sangat dalam, tidak hanya sebatas kepura-puraan saja (bnd.Yoh.3:16). Namun Tuhan juga tidak mau dipermainkan. Dia memberi kita kesempatan kedua, ketiga,keempat dan seterusnya, namun ada suatu ketika tidak ada lagi kesempatan untuk berubah dan semua pintu telah tertutup (bnd.Air Bah, Pembuangan ke Babel,dll) Rasul Paulus mengatakan di 2 Kor 6:1-2 “jangan sia-siakan kasih karunia Allah”.

Tidak ada komentar:

Mazmur 84 : 1 - 7

Mazmur 84 : 1 - 7 84:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur bani Korah.  84-2 Betapa disenangi tempat kediaman-Mu ,  ya ...