Senin, 20 Juni 2011

Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang bersifat Majemuk

Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang bersifat Majemuk
Oleh : Pdt. Henry H P Butarbutar

============================================================

I. Pendahuluan

Pembicaraan mengenai kemajemukan agama-agama di Indonesia biasanya berlangsung dalam konteks kerukunan beragama. Ada yang mengartikan kerukunan beragama sebagai “kerukunan di antara agama-agama” tetapi ada juga yang melihatnya sebagai “kerukunan antar umat beragama”. Kerukunan antar umat beragama mengasumsikan bahwa penganut agama yang satu dengan penganut agama yang lain bisa saling rukun, namun belum tentu agama yang satu dengan agama yang lain. Bahkan, dapat saja ada anggapan bahwa antara agama yang satu dengan agama yang lain pada hakikatnya terdapat pertentangan, seperti doktrin (ajaran) dan iman. Maka bila ini dipahami, maka jalan keluar yang dilihat untuk menjamin mulusnya kerukunan beragama dicari di luar tubuh agama itu sendiri. Di Indonesia kita sudah terbiasa untuk mengalaskan kerukunan beragama ini pada perangkat-perangkat yang disediakan oleh Negara atau undang-undang. Pancasila dan UUD 1945 kerap dijadikan dasar. Yang menarik lainnya bahwa dasar kerukunan beragama bisa juga ditemukan pada kesamaan kesamaan keprihatinan dan pergumulan kemanusian dari setiap penganut agama. Dimana bila terjadi bencana di Negara ini maka tanpa dikoordinir oleh pihak-pihak tertentu, umat terpanggil saling membahu dan membantu.

II. Pluralitas sebagai keniscayaan
Sejak Negara Indonesia ada, kemajemukan (pluralitas) sudah menjadi bagian kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada 17.000 pulau dan juga suku serta 6 agama yang resmi diakui Negara (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu) serta berbagai aliran kepercayaan lain. Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha, khong hu cu 0,1 %

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Dengan banyaknya suku, ras dan agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar masyarakat dan pemeluk agama sering kali tidak terelakkan. Kemajemukan ini sering menjadi persoalan yang hakiki. Dr. Tarmizi Taher mengatakan ada 3 persoalan yang utama, yakni :
a. The Making of a culture
b. The Making of a Nation
c. Dualism, growth and poverty

Penulis menyakini dengan alasan itulah sehingga Pendiri Bangsa ini (Founding Fathers) meletakkan sebagai Dasar Negara Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 demi membangun kebersamaan di sebuah bangsa dan Negara.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia
Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad kedua dan abad keempat Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatera, Jawa dan Sulawesi, membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah mempengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.
Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui pedagang Arab. Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor.
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis. Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen dan Katolik, karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha.
III. Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia
Banyak orang pesimis dan putus pengharapan perihal masa depan pluralisme agama di Indonesia. Dimana masih sering terjadi perdebatan (pro-kontra) di dalam memahami apalagi menerima pluralisme itu sendiri. Pesimisme ini biasanya didasarkan pada beberapa indikator utama, antara lain :
1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan iman
Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benar-benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama maka kita menemukan klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal (surga) sebagai tempat bersama Allah. Buddhisme percaya pada Nirwana dan Reinkarnasi. Nirwana adalah Keadaan Damai yang membahagiakan, yang merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi dimana Allah menghukum manusia”. Yang ada adalah reinkarnasi bagi mereka yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa pluralisme adalah konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masing-masing.
2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah
Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama adalah sebuah cara berpikir yang tidak tepat. Demi keharmonisan maka mengganggap semua agama benar adalah mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme kebenaran adalah sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini (maju/mundur) dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut pandang memang relatif.
3. Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten
Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau partikularisme dalam teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya masing-masing secara bebas. Jika seorang pluralis anti terhadap kaum eksklusivis maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai kaum eksklusivis.
4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi yang semu
Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu adalah toleransi yang semu. Toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno , ”meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
5. Kritik terhadap pluralisme agama John Hick
Jika ”The Real” atau Allah-nya Hick memang melampau konsep yang baik atau yang jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan” untuk mengetahui seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini adalah sebuah kriteria yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi Hick, keselamatan adalah transformasi moral akibat perubahan pusat kehidupannya dari diri sendiri kepada ”The Real” (Allah, Brahman, Tao). Hal ini mencerminkan teologi yang tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri mengaku Kristen. Teologi alkitabiah menunjukkan bahwa keselamatan bukan hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Allah di dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan bahwa keselamatan adalah hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al Baqarah 25).

Tantangan yang lain secara praktis demi perwujudan pluralisme di Indonesia adalah: telah berpulangnya para tokoh agama yang gigih tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, sementara tokoh baru dengan militansi yang sama dengan para pendahulunya tak segera matang dan dewasa. Meninggalnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Eka Darmaputra, TH Sumartana, Mangunwijaya, Gedong Bagus Oka, dan lain-lain tak jarang dianggap sebagai pertanda matinya pluralisme agama di Indonesia. Di lingkungan umat Islam, kepergian Almarhum Gus Dur dipandang sebagai pukulan telak bagi gerakan pluralisme. Mereka berpendirian, dengan wafatnya Gus Dur, maka langit pluralisme akan kian kelam dan buram. Kedua, terjadi surplus kekerasan berbasis agama dan teologi. Seperti dilansir the WAHID Institute, Setara Institute, CRCS UGM, dalam laporan akhir tahun 2009 tentang indeks kebebasan beragama dan kekerasan berbasis agama, ditemukan fakta tentang kian meratanya kekerasan dan diskriminasi terhadap (umat) agama dan (pengikut) sekte tertentu. Pelakunya pun sangat beragam, mulai dari individu sampai kelompok organisasi keagamaan tertentu. Mulai dari dipersulitnya ijin pendirian rumah ibadah sampai pada pembakaran dan penghancuran rumah ibadah. Ada gereja yang dibakar. Ketiga, masih dipertahankanya sejumlah kebijakan dan perundang-undangan yang tak toleran terhadap kelompok minoritas seperti SKB 2 Menteri. Di pihak yang satu SKB dianggap sebagai senjata ampuh untuk menangkal pemurtadan, tetapi di pihak yang lain menilai bahwa SKB adalah sumber diskriminasi yang selama ini dialami oleh pemeluk agama minoritas, khususnya dalam hal membangun rumah ibadatnya sendiri. Untuk memiliki sebuah tempat ibadat sendiri kaum minoritas harus menunggu ?kemurahan hati? para pemuka agama mayoritas di wilayahnya.
Sebagai generasi muda kristen, saya berpendirian bahwa ketiga faktor tersebut tak cukup dijadikan alasan untuk pesimis menatap masa depan pluralisme agama di Indonesia. Ketiga pokok soal tersebut sebenarnya lebih merupakan tantangan bagi pejuang pluralisme agama untuk mensolidkan dan mensinergikan gerakan. Ada banyak hal yang menyebabkan kita boleh optimis dan berpengharapan tentang cerahnya pluralisme agama di Indonesia di masa-masa yang akan datang. Memang benar bahwa Gus Dur dan Pak Eka sudah tidak ada, tapi pikiran-pikiran pluralis keduanya sudah terlembagakan ke dalam berbagai institusi dan diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih terstruktur dan sistematis. Misalnya ada Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta, MADIA Jakarta, the WAHID Institute Jakarta, ICRP Jakarta, ICIP Jakarta, ICIP Jakarta, Dian-Interfidei Yogyakarta, dll, bahkan telah terbentuk sejenis Forum Pluralisme Indonesia, sebuah forum yang dibentuk oleh sejumlah intelektual muda lintas agama untuk memperbanyak pangkalan pendaratan pluralisme agama di Indonesia. Kini sebenarnya tokoh-tokoh muda yang gigih memperjuangkan pluralisme agama kian tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka bekerja biasanya tanpa sorotan kamera dan publisitas media, sehingga tampak kurang populer.
Selanjutnya, dalam proses transisi menuju demokrasi, sebagian negara kerap tidak stabil dan mudah goyah. Dalam konteks itu, negara biasanya tak bisa berperan secara efektif untuk melindungi setiap warganya dari tindak ketidakadilan oleh warga yang lain. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Sejumlah kekerasan berbasis agama tak bisa segera dihentikan oleh pemerintah (aparat kepolisian). Pemerintah gamang untuk bertindak dan menghukum pelaku kekerasan berbasis agama karena khawatir dianggap anti-agama. Kelak, ketika transisi demokrasi ini sudah berakhir, negara akan kembali normal. Di situ kiranya tak ada satu warga negara pun yang hak-haknya boleh dirampas oleh warga lain, termasuk hak untuk memilih dan menjalankan ajaran agama dan keyakinan. Bahwa seseorang tak bisa dikriminalisasi karena yang bersangkutan memilih sekte dan tafsir tertentu dalam beragama. Kementerian Agama tak boleh mengintervensi dan menjadi hakim yang bisa memutus tentang sesat dan tidaknya suatu tafsir dan ritual peribadatan. Seseorang bisa dikriminalisasi bukan karena yang bersangkutan menjalankan ritus peribadatan tertentu, melainkan misalnya karena di dalam ritual itu terdapat tindak kriminal seperti kekerasan yang merendahkan martabat manusia. Dengan alasan-alasan itu, kita masih berhak untuk optimis bahwa langit-langit pluralisme agama di Indonesia akan makin cerah. Bahwa ada mendung yang sedikit menggantung, iya. Tapi, yakinlah bahwa mendung itu akan hilang ditiup angin perubahan dan pluralisme.
IV. Toleransi Kristiani dalam membangun pluralisme

Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Toleransi menyangkut pemberlakuan kebebasan beragama. Toleransi dijelaskan oleh Kamus Besar Indonesia, maupun oleh Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, sebagai berikut : Toleransi adalah sifat atau sikap (toleran adalah bersifat atau bersikap) menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri misalnya : agama (teologi, ras dan sebagainya). Telorensi adalah pengertian yang relasional (hubungan). Kita baru bisa berbicara tentang toleransi dalam relasi di antara orang-orang yang bersifat dan bersikap yang berbeda. Sikap toleransi harus timbale balik dan dua arah, bahkan multi-arah. Toleransi adalah kesamaan sifat dan sikap dan bukan kesamaan ajaran atau keyakinan. Ia adalah sikap etis dan bukan dogmatis. Apabila toleransi menjadi dogmatis, maka ia segera menjadi intoleran. Toleransi harus sanggup membiarkan sikap yang lain, sampai kepada sikap yang intoleran sekali pun, asalkan hal itu menenggang sifat dan sikap orang lain. Misalnya secara ekstrim : Tidak ada jalan keselamatan kecuali Yesus Kristus. Itu keyakinan yang sangat intoleran, namun dalam bertoleransi sikap intoleran itu harus punya tempat, harus dibiarkan dan dibolehkan. Sebaliknya, keyakinan : Tiada Tuhan selain Allah, itupun sangat intoleran. Tetapi demi toleransi dan demi kehidupan bersama, keyakinan itu harus punya tempat, harus dihargai, dibiarkan, dibolehkan oleh orang yang berlainan kepercayaan.
Adapun dasar-dasar toleransi yang harus dikembangkan secara kristiani, antara lain :
 Pertama-tama kita harus sadar bahwa semua manusia adalah gambar Allah. Walaupun gambar Allah yang sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya. Semua adalah orang berdosa di hadirat Allah yang Kudus. Harus ada solidaritas orang berdosa di hadirat Allah.
 Gambar Allah yang rusak sudah direhabilitasi sesuai aslinya di dalam Yesus Kristus. Tuhan itu baik bagi semua orang (Mazmur 145:9) dan Ia menghendaki supaya semua orang selamat ( 1 Tim.2:4; Titus 2:11)
 Allah adalah kasih. Ia telah mengasihi kita. Karena kasih itu, maka kita harus mengasihi sesame manusia ( 1 Yoh.4:8, 10, 21)
 Toleransi bukanlah sikap hidup yang kompromistis. Hendaklah kamu kudus, karena Aku, Tuhan, Allahmu Kudus (Imamat 19:2, 1 Petrus 1:16). Kita harus memikirkan dan melakukan semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan (filipi 3:8-9). Kita harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik ( 1 Petrus 3:11, Roma 12:9)
 Toleransi yang harus dikembangkan adalah berbuat baik bagi semua orang berdasarkan kasih yang kita terima dari Allah di dalam Yesus Kristus. Menenggang pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan orang lain tetai melayani orang lain dengan perbuatan baik berdasarkan kasih, tetapi kasih itu pun tidak boleh dipaksakan.

Pancasila sebagai asas bernegara, asas berbangsa dan asas bermasyarakat menjadi kulminasi dari proses persatuan dalam gerakan nasional Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 yang dilahirkan oleh gelora pembaruan generasi muda, yang melihat kesatuan dan persatuan sebagai jawab yang strategis guna melawan politik “divide et impera” dari kolonialis Belanda. Semua unsure primordialistis (suku, agama, ras dan antar golongan) dinisbikan peranannya, lalu ditempatkan dalam kerangka baru yaitu nasionalisme Indonesia yang berslogan Bhineka Tunggal Ika. Pesan ini menjadi konteks praktis, di mana semua warga Negara dan semua agma diminta untuk melibatkan diri dalam segenap proses pembangunan nasional kita. Membangun adalah melakukan pengubahan ke arah yang lebih baik. Di dalam proses itu terlibat tindakan tindakan manusia yang dilatarbelakangi oleh sikap iman.Tak terkecuali juga orang-orang Kristen untuk merumuskan penghayatan iman mereka dalam kaitan dengan proses pembangunan nasional.

V. Kesimpulan
Sejak kecil di negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana!

Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi muak. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar. Masing-masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-win solution ke dalam area kebenaran.
Orang Kristen perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam. Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan tetap mempertahankan identitas agama-agama yang ada.
sekian

Tidak ada komentar:

Mazmur 84 : 1 - 7

Mazmur 84 : 1 - 7 84:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur bani Korah.  84-2 Betapa disenangi tempat kediaman-Mu ,  ya ...